JAKARTA – Juru Bicara Presiden terpilih Prabowo Subianto, Dahnil Anzar Simanjuntak, memberikan peringatan keras mengenai masa depan kedaulatan bangsa. Menurutnya, ancaman terbesar Indonesia saat ini bukan lagi sekadar tank dan senjata, melainkan kegagalan dalam mengelola pangan, air, dan energi.
“Pertahanan bukan cuma soal tank dan senjata. Kalau kita kalah di pangan, energi, dan teknologi, kita bisa kalah tanpa perang,” tegas Dahnil saat menjadi pembicara utama dalam Sekolah Virtual Kebangsaan (SVK) yang diselenggarakan oleh DPP LDII di Jakarta, Sabtu (23/8/2025).
Dalam forum tersebut, Dahnil memaparkan bahwa Indonesia dihadapkan pada dua ancaman ideologis ekstrem: paham agnostik negara yang menganggap negara tidak penting, dan radikalisasi agama yang memandang negara sebagai berhala. Namun, ia menekankan bahwa ancaman yang lebih senyap dan berbahaya justru datang dari sektor non-militer.
Ancaman Nirmiliter Lebih Nyata
Dahnil, yang juga menjabat sebagai Wakil Kepala Badan Penyelenggara Haji (BPH) RI, mengingatkan kembali visi Prabowo Subianto yang sudah diutarakan sejak 2014 mengenai ancaman nirmiliter. Menurutnya, prediksi tersebut kini semakin terbukti relevan di tengah ketegangan geopolitik global.
“Pada 2018, survei dari The Economist sudah memprediksi Amerika dan Eropa menjadi kawasan paling siap menghadapi krisis pangan pada 2035. Mereka serius mengurus pertanian dan mengamankan cadangan energi,” ungkapnya. “Kalau kita tidak serius mengurus pangan dan air, kedaulatan kita akan goyah.”
Ia mencontohkan bagaimana Amerika Serikat secara strategis mengendalikan cadangan energi di Timur Tengah sambil menjaga sumber daya domestiknya, sementara Eropa gencar merevitalisasi sektor pertaniannya.

Peran Strategis Pesantren LDII di Era Modern
Di hadapan para peserta, Dahnil secara khusus menantang Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) untuk mengambil peran pionir dalam menghadapi tantangan tersebut. Menurutnya, pondok pesantren tidak boleh lagi hanya menjadi pusat pengajaran agama (fiqih).
“Saya berharap pesantren-pesantren LDII bisa menjadi pusat riset pangan, energi terbarukan, dan teknologi terapan,” ujarnya. “Beasiswa ke luar negeri jangan hanya untuk studi fiqih. Anak-anak muda LDII juga harus belajar teknologi pangan dan sains. Arab Saudi saja sudah maju, kenapa kita tidak meniru?”
LDII sebagai Ormas ‘Produk Jadi’ yang Otentik Indonesia
Dahnil memberikan apresiasi tinggi terhadap posisi LDII dalam lanskap organisasi masyarakat (ormas) Islam di Indonesia. Ia menyebut jika Muhammadiyah dan NU berperan besar dalam meramu nilai keislaman dan kebangsaan, maka LDII adalah “produk jadi” yang mampu mengoperasionalkan nilai-nilai tersebut dalam tataran praktik.
“Kalau ada ormas Islam yang otentik Indonesia, itu LDII. Ia lahir dari proses politik Indonesia,” puji Dahnil.
Ia juga menyinggung perjalanan sejarah LDII yang tak selalu mulus dan pernah mendapat stigma. Namun, baginya, itu adalah modal bagi generasi muda LDII untuk membalikkan narasi dan membuktikan kekuatan sejati organisasi tersebut dalam memadukan Islam dan semangat kebangsaan.
Di akhir paparannya, Dahnil memuji langkah LDII yang adaptif dengan zaman, terutama dalam memberikan ruang ekspresi yang luas bagi generasi mudanya di media sosial.
“Saya senang LDII agresif memberi anak muda ruang berekspresi di sosmed. Ini cara cerdas agar dakwah Islam yang ramah dan nasionalis tetap relevan dengan zaman,” pungkasnya.
(SA/Kaltim Pro)

